Cedric Ceballos merupakan salah
satu bintang utama USA Legends
Team, yang akan tampil di Jakarta
dan Surabaya, 22 dan 25 Juni nanti.
Mantan juara slam dunk itu juga
seorang rapper dan DJ handal.
CEDRIC Ceballos,
kini 41 tahun, termasuk tipe orang banyak
bakat. Sepanjang hidupnya, dia menekuni
dua passion besar dalam hidupnya: Basket
dan musik.
Sebenarnya, sebelum
berkarir di NBA antara 1990-2000, Ceballos
lebih serius di musik. Bahkan, dia punya mimpi
jadi bintang rap terkenal.
Ternyata, walaupun jago basket,
pria kelahiran Maui, Hawaii, 2
Agustus 1969, itu merasa tak yakin
bisa jadi pemain profesional.
“Saya selalu punya aspirasi jadi
rapper terkenal. Saya menseriusinya
sepanjang kuliah dan saat menekuni basket. Saya tidak mencintai
basket sebanyak saya mencintai
musik. Sebab, saya sempat tidak
yakin saya bisa masuk NBA,” ungkap
Ceballos, seperti dilansir SLAM.
Kampus tempat dia menimba
ilmu dan bermain basket merupakan alasan mengapa Ceballos
tidak pede. Dia dulu sekolah di
California State University Fullerton, yang masuk kategori kecil
di jajaran peserta liga mahasiswa
NCAA di Amerika Serikat.
“Sebenarnya, karir basket saya
semasa kuliah berlangsung luar
biasa. Tapi karena saya di sekolah
kecil, saya tidak yakin bisa dapat
kesempatan,” tandasnya.
Bisa dibilang, Ceballos tergolong “coba-coba” ketika mendaftarkan diri masuk NBA Draft
1990. Dia sama sekali bukan
pemain muda yang diperebutkan oleh tim-tim NBA.
Ternyata, Ceballos tetap dapat
kesempatan. Phoenix Suns memilihnya di penghujung ronde kedua
NBA Draft. Begitu dapat jalan bermain profesional, Ceballos langsung
lebih memfokuskan diri ke basket.
“Begitu dapat kesempatan, saya
langsung meninggalkan musik. Saya
akan mencoba bermain selama
mungkin. Setelah itu, baru fokus
kembali ke musik,” tuturnya.
Karir Ceballos di NBA ternyata
meroket. Gaya bermainnya yang
agresif menjadikannya populer di mata penggemar NBA. Saat di
Phoenix Suns, dia meraih jawara
NBA Slam Dunk 1992.
Menurut Ceballos, gelar itu bukanlah gelar Slam Dunk pertamanya. Ketika masih kuliah, dia
juga pernah jadi juara Slam Dunk.
Mengalahkan jagoan-jagoan ngedunk kampus dari seluruh Amerika. Salah satu yang dia kalahkan
adalah Dee Brown, yang ketika di
NBA juga meraih juara Slam Dunk,
setahun sebelum Ceballos.
Pada 1992 itu, saingan Ceballos
sangat berat. Ada Shawn Kemp dan Larry Johnson. Saat berlaga, Ceballos mengaku bersikap nothing to
lose. Dan begitu melihat ada kesempatan jadi juara, dia pun mengerahkan gaya terbaik yang sudah lama
dia persiapkan. Dunk dengan mata
tertutup itu dia beri nama “Hocus
Pocus” (lihat di YouTube!).
“Dua bulan saya latihan dunk
(Hocus Pocus) itu. Waktu itu saya
masih baru (di NBA) dan tak banyak
bermain. Jadi saya punya banyak
waktu latihan,” akunya saat sesi chat
dengan fans di situs ESPN.
Saat di Suns, Ceballos masih
jadi pemain pendukung. Bintang
utamanya waktu itu adalah
Charles Barkley dan Kevin Johnson. Baru ketika pindah ke Los
Angeles Lakers pada 1994, dia
melonjak jadi bintang utama.
Selama dua musim, 1994-1995
dan 1995-1996, Ceballos jadi top
scorer tim legendaris tersebut. Pada
1995, dia menjalani pertandingan
terbaik dalam karirnya, mencetak 50
poin dalam satu game! Waktu itu, dia
menjadi pemain Lakers pertama
dalam 20 tahun yang mampu mencetak 50 poin dalam satu game.
Masa bermain di Lakers ini membawa Ceballos ke puncak popularitas. Dia mengaku jadi terkenal di
tempat-tempat yang sebelumnya
sama sekali tidak mengenalnya.
“Saya tak pernah terbiasa dengan itu.
Saya selalu takjub setiap kali ada
orang mengenali dan menyapa saya,” ucapnya.
Pada 1995 itu pula, Ceballos terpilih masuk barisan paling elite,
barisan NBA All-Star. Sayang, dia
tak sempat berpartisipasi dalam
laga itu karena cedera. Meski demikian, sampai sekarang Ceballos
tidak menyesal tidak sempat berlaga sebagai seorang All-Star.
“Luar biasa rasanya terpilih
masuk All-Star. Tentu akan sangat
luar biasa kalau ada rekaman saya
bermain sebagai All-Star. Tapi yang
pasti, nama saya tetap tercatat sebagai seorang All-Star. Lucunya,
saya cedera gara-gara (center legendaris) Dikembe Mutombo.
Dan dialah yang ditunjuk sebagai
pengganti saya di laga All-Star tahun itu!” cerita Ceballos.
Kembali ke Entertainment
Karir Ceballos di Lakers berakhir dengan dimulainya dinasti baru tim tersebut. Pada
1996, Shaquille O’Neal datang
bergabung. Pada tahun yang
sama, Lakers merekrut calon
superstar Kobe Bryant.
“Ketika Lakers dapat Shaq, mereka
butuh penembak jarak jauh. Sementara saya adalah pemain penetrasi.
Robert Horry bermain di posisi yang
sama dengan saya, dan dia seorang
penembak,” ungkapnya.
Ceballos lantas kembali bersama
Phoenix Suns. Sayang, karirnya
mulai memasuki fase menurun.
Dari Suns, dia pindah lagi ke Dallas
Mavericks, lalu ke Detroit Pistons,
dan terakhir ke Miami Heat.
Mulai 2001, setelah sepuluh
musim di NBA, Ceballos melanjutkan karir profesional di luar negeri.
Mulai Israel, Rusia, hingga Filipina.
Dia juga sempat kembali ke Amerika dan bermain di liga-liga semiprofesional. Dia benar-benar stop
berkarir di basket pada 2007.
Sesuai niatan lama, Ceballos
kembali ke dunia musik. Atau tepatnya dunia yang dekat dengan
musik. Tapi kali ini, tetap tidak
jauh-jauh dari basket dan NBA.
Ceballos lantas bekerja untuk Phoenix Suns, di divisi entertainment klub
tersebut. Dia bekerja sebagai MC dan
DJ pertandingan saat Suns bermain di
kandang, juga jadi host acara webcast
mingguan, Nothin’ but Net, di situs
resmi tim tersebut. Di luar itu, dia juga
jadi host acara musik di sebuah stasiun
radio di Phoenix.
Sebagai rapper, Ceballos memang tidak lagi serius. Tapi dia
mungkin juga tidak perlu menyesal. Sebab, dia sudah punya satu
single yang sempat banyak diputar
pada 1990-an lalu. Lagunya bersama bintang hip-hop Warren G,
Flow On, merupakan bagian dari
album berjudul B-Ball’s Best Kept
Secret, yang melibatkan banyak
bintang NBA era 1990-an.
Usut punya usut, setelah karir
basket berakhir, Ceballos sempat
menjajal karir sebagai aktor. Tampil
sebagai bintang tamu di sejumlah
acara televisi. Sayang, ada satu
kendala yang menghalangi, dan
dia tak akan bisa mengubahnya.
“Saya mencoba akting, beberapa
sitcom dan lain-lain. Tapi saya ini
orang yang sangat besar (198 cm,
Red) di tampilan layar. Mereka
(kalangan televisi) tak suka orang-orang jangkung tampil di layar,”
pungkasnya. (nur/bersambung)
* Story Provided by Jawa Pos