Dari kiri Irawan Haryono (Dewan Komisaris NBL Indonesia), Hardep Singh (Li Ning), Yudi Mahendra (Safe Care), Nanang Priyanto (Jawa Pos), Anggito Abimanyu (Perbasi), Imam Nahrawi (Menpora), Azrul Ananda (Commissioner NBL Indonesia), Bagyo Nugroho (Telkom), Irwan Hidayat (PT Sidomuncul), Tomoki Uchida (Honda Prospect Motor). Andrew Suherman (Sony). (Foto: Wahyudin/Jawa Pos)
KEBERADAAN NBL Indonesia menjadi saksi bahwa sebuah kompetisi bisa menjadi industri besar berbasis olahraga yang tak bergantung pada pendanaan dari pemerintah.
Perbincangan CNN Indonesia bersama Azrul Ananda, komisioner NBL Indonesia, mengantarkan cerita panjang tentang industri olahraga yang populer di kalangan anak muda tersebut.
Endro Priherdityo, CNN Indonesia
---
Tak Sepeserpun Uang Pemerintah
Ada kebanggaan dalam nada suara Azrul ketika ia menuturkan pertemuannya dengan Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi, saat pembukaan Speedy National Basketball League 2014/2015, Rabu (3/12).
"Saya kemarin bilang ke Menpora, liga ini nol dari uang pemerintah dan saya tidak minta," ujar Azrul saat ditemui di sela-sela Seri I Jakarta yang berlangsung di Hall Basket Senayan, Jakarta.
Hal ini tak bukan karena prinsip yang dianut oleh Azrul, sang pengelola baru NBL Indonesia sejak diminta untuk mengelola liga basket oleh sepuluh klub besar di Indonesia.
"Basket ini unik dibandingkan olahraga lain, karena sepanjang sejarahnya selalu dilaksanakan swasta. Pasar basket memang terbatas golongan menengah ke atas karena dulu olaharaga ini dimainkan di sekolah-sekolah etnis Tionghoa," ucapnya.
Baginya, sifat kemandirian basket yang diturunkan sejak lama tersebut, adalah sebuah hal yang membuat olahraga ini tetap bertahan dan stabil meski kondisi negara serumit apapun.
Pasalnya, olahraga ini bisa dikatakan minim dari intervensi politik dan kekuasaan pemerintah.
Saat mendirikan perusahaan PT. DBL Indonesia pada 2008, ia juga lebih memilih menjadikannya perusahaan swasta guna menghadirkan profesionalisme dan rasa tanggung jawab.
Satu prinsip yang ia tanamkan sedari dini adalah tidak boleh meminta-minta dana pada pihak lain.
Tidak Mengejar Prestasi
Tak dapat dipungkiri, kesuksesan NBL Indonesia saat ini tak terlepas dari keberhasilan Developmental Basketball League (DBL) menjadi kompetisi olahraga tingkat SMA yang paling populer di Indonesia.
Meski kondisi keuangan NBL Indonesia kian stabil, Liga Basket ini memang masih menerima 'subsidi' dari sang sudara tua, DBL.
Azrul bercerita bahwa pada musim pertama DBL digulirkan pada 2004 silam, ia mendapatkan antusiasme yang di luar ekspektasi.
Semula diestimasi hanya diperuntukkan untuk 40 tim, DBL ternyata diminati 100 sekolah se-Jawa Timur. Jumlah ini naik dua kali lipat di tahun kedua.
Peningkatan partisipasi inilah yang memang dijadikan sasaran oleh Azrul.
"Kami punya prinsip, partisipasi lebih penting dibandingkan prestasi," ujar Azrul.
Komitmen tersebut ia terapkan di DBL, yaitu fokus pada pengembangan liga. Ia beranggapan, prestasi akan datang dengan sendirinya apabila mendapatkan dorongan pembiayaan yang cukup.
Pembiayaan sendiri, menurutnya, hanya datang dari tingkat partisipasi yang baik.
"Partisipasi mendatangkan pendapatan, sedangkan prestasi membutuhkan biaya."
Dorongan membuat semakin banyak pihak terlibat dalam liga inilah yang akhirnya membuat DBL mampu menggandeng klub, sponsor, serta yang utama peserta dan penonton.
Empat tahun mencoba mandiri mengajak dan mengembangkan liga, DBL mendapatkan sponsor sebuah produsen motor.
Tingkat partisipasi yang semakin meningkat juga membuat DBL loncat tinggi menggapai sepuluh provinsi dan kini menjadi 22 provinsi.
Basket yang dahulu hanya digandrungi oleh sekelompok masyarakat, kini mulai merambah pasar lain yang semakin luas.
"Terjadi pemassalan dan basket menjadi ikon olahraga anak SMA," ujar Azrul. "Kini, satu dari sepuluh anak SMA ikut DBL dengan total peserta mencapai 36 ribu anak."
Formula Ideal Sebuah Liga
NBL Indonesia, diakui Azrul, masih menyisakan pekerjaan rumah tentang formula ideal dari sebuah pembiayaan liga.
"Sumber pembiayaan liga idealnya 50 persen sponsor, 30 persen penonton, 20 persen adalah pendapatan non-sponsorship,"
Penonton ia akui adalah sebuah tantangan di Indonesia. Dirinya menjabarkan bahwa tidak seharusnya penonton dididik untuk menikmati liga secara gratis, guna menghargai olahraga itu sendiri.
"Penonton bayar 50 ribu untuk bioskop mau, kenapa untuk pertandingan tidak mau? Berarti liga yang harus mengemas supaya penonton mau membayar dengan harga yang layak," kata Azrul.
Hal itulah tantangan dari perusahaan penyelenggara liga untuk melakukan pemasaran yang efektif guna mendapatkan dana pemasukan.
Sedangkan untuk non-sponsorship, dirinya menjabarkan bahwa di Indonesia masih belum dapat mengandalkan hak siar televisi.
"Di Indonesia, yang tampil di TV yang harus membayar, bukan dibayar. Kalaupun ada yang berhasil, karena faktor dukungan politis," ujar Azrul.
Guna mengantisipasi itu, ia mencoba mencari pendapatan lain melalui jalan lisensing dan aksesori NBL Indonesia. Dari menjual lisensi, kebutuhan pendanaan 30 persen idealnya terpenuhi.
Ia mengaku, baru DBL dan NBL Indonesia yang menerapkan sistem lisensi ini di Indonesia.
Direktur sebuah media di Indonesia ini juga tidak menampik bahwa sponsor memerankan peran besar dalam penyelenggaraan liga.
Namun, ia menggarisbawahi bahwa sebuah liga tidak boleh bergantung sepenuhnya dari sponsor tunggal, guna menjaga kemandirian liga dan tidak bergantung pada suatu pihak.
Ia lebih memilih sponsor yang dapat bekerja bersama dan ikut membangun liga, meskipun bukan perusahaan besar.
Azrul pun bertutur rahasianya menggaet sponsor untuk masuk ke dunia basket.
"Saya selalu mengutarakan kondisi yang sebenarnya dan tidak terlalu banyak berjanji muluk-muluk," ujarnya. "Saya bersyukur memiliki sponsor yang memahami visi kami dan mendukung hal tersebut,"
Perjanjian dengan Klub
Selain menyehatkan liga, satu tugas lainnya adalah cara untuk menyehatkan klub peserta kompetisi.
"Kami punya kerjasama secara profesional dengan klub-klub basket peserta NBL Indonesia."
Kerjasama profesional yang dimaksud Azrul adalah terkait biaya keikutsertaan klub dalam liga, yaitu liga membayar klub untuk tampil dalam liga dan juga sistem pembagian uang hadiah dengan struktur tertentu.
Mereka juga bersepakat mengenai pembagian pendapatan hasil tiket yang didasarkan menurut jenjang prestasi klub.
"Sistem ini mirip seperti di Formula Satu."
Liga juga mendorong klub untuk mendapatkan sponsornya masing-masing namun masih dalam koordinasi dan sesuai aturan yang ditetapkan liga.
Hingga kini, Azrul tetap mempertahankan fokus utama yaitu menjaga keberlangsungan liga. Soal target beberapa tahun ke depan, ia sendiri berpendapat bahwa hal ini tak lepas dari kondisi ekonomi makro Indonesia.
"Kalau masyarakatnya sudah berpenghasilan 5.000 dollar per orang, ya tentu pendapatan tiket NBL Indonesia akan naik dua kali lipat," ujarnya berkelakar.
"Kita harus tetap memastikan liga ini berjalan stabil dan berkembang sesuai dengan kondisi ekonomi makro yang ada. Yang lebih penting adalah bukan hanya wacana, namun kerja, kerja, dan kerja," kata Azrul disusul derai tawanya. (vws)
Story Provided by CNN Indonesia
(http://www.cnnindonesia.com/olahraga/20141205130356-178-16064/basket-indonesia-tak-mengemis-dana-pemerintah/)