Suasana Hall Basket Senayan saat laga antara CLS Knights Surabaya melawan Satria Muda BritAma Jakarta pada hari pembuka Speedy NBL Indonesia 2014-2015 seri I Jakarta, Rabu (3/12). (Foto: Wahyudin/Jawa Pos)
KEBANGKRUTAN Indonesian Basketball League pada 2009 lalu menjadi titik nadir dunia liga basket Indonesia sejak 1982. Kala itu, satu-satunya liga basket profesional Indonesia tersebut berada di ujung tanduk setelah gonta-ganti promotor.
Endro Priherdityo, CNN Indonesia
---
Bukan hanya soal liga yang kacau balau. Keterpurukan basket Indonesia saat itu terlihat dari gaji pemain yang bisa dikatakan menyedihkan.
"Saya kaget, ketika saya sempat membaca kontrak pemain, mereka dibayar 750 ribu sebulan," ujar Komisioner NBL Indonesia, Azrul Ananda, kepada CNN Indonesia di sela pertandingan Seri 1 Speedy NBL Indonesia, Jakarta, 2 Desember 2014.
Di Ambang Kematian IBL
Azrul mengisahkan ketika kondisi IBL berada di ambang kematian ia tengah sibuk mengembangkan Development Basketball League (DBL). DBL adalah liga basket anak SMA di Indonesia yang ia bangun mulai 2004.
Pria 37 tahun tersebut mengaku didatangi oleh sepuluh klub IBL yang berkeluh kesah.
"Sepuluh klub IBL datang ke saya dan meminta liga diambil alih oleh DBL. Sungguh ironi, klub-klub profesional meminta dikelola oleh liga SMA," katanya.
Indonesia Basketball League ada sejak 2003 sebagai perubahan bentuk dari liga basket profesional pertama Indonesia, Kompetisi Bola Basket Utama (Kobatama) yang sudah eksis sejak 3 April 1982.
Kobatama berdiri sebagai ajang pertandingan klub basket papan atas di Indonesia. Setelah 20 tahun berdiri, Kobatama dituntut untuk mandiri dan berubah menjadi IBL dengan sepuluh klub sebagai peserta.
Aspac, Satria Muda, Pelita Jaya, Garuda Kukar, CLS Knights, Stadium, Hang Tuah, Bima Sakti, Satya Wacana, dan GSBC adalah peserta tetap IBL. Mereka pula yang akhirnya datang ke Azrul di Surabaya.
Manajemen yang buruk ditengarai menjadi penyebab IBL tidak lagi dapat bertahan.
Pencerahan dari NBA
Semula, Azrul sempat menolak permohonan sepuluh klub tersebut karena ia ingin fokus mengembangkan DBL. Namun, diskusi dengan seorang petinggi NBA di Januari 2010 ternyata menyadarkan dirinya.
"Petinggi NBA tersebut mengatakan kepada saya, 'Azrul jika kamu tidak menyelamatkan liga profesional tersebut maka liga SMA kamu tidak akan ada gunanya'," tutur Azrul mengisahkan.
DBL sendiri ditunjuk secara resmi sebagai penyelenggara kegiatan NBA pertama kali di Indonesia saat 2008. Azrul mengakui sudah berulang kali mengirim tim ke luar negeri seperti Australia, Tiongkok, Malaysia, dan Amerika Serikat.
"Saya berdalih bahwa tujuan saya memang bukan itu (prestasi). Saya hanya ingin anak-anak SMA ini bermain secara profesional, bukan menjadi pemain profesional," kata anak pengusaha media massa, Dahlan Iskan itu.
Azrul Ananda
Ayah tiga orang anak ini beranggapan paling hanya sekitar satu persen dari peserta DBL yang akan benar-benar menjadi pemain basket profesional.
Namun, kemudian petinggi NBA tersebut menekankan pada Azrul bahwa satu persen dari 25 ribu peserta DBL saat itu lebih banyak dibandingkan jumlah pemain profesional IBL yang hanya 170 orang.
"Jadi rupanya setiap tahun saya menghasilkan lebih banyak pemain yang mampu bermain profesional, dibandingkan jumlah pemain profesional yang ada di Indonesia."
DBL sendiri saat 2010 lalu telah menjamur di 21 kota seluruh Indonesia dan diikuti 25 ribu pemain serta ofisial.
"Saya langsung berpikir. Jika yang satu persen ini tidak diselamatkan, mau jadi apa?"
Akhirnya tim DBL dan Perbasi saling berkoordinasi dan memutuskan untuk mengambil alih Indonesia Basketball League dan merubahnya menjadi National Basketball League (NBL) Indonesia.
Perlahan Tapi Pasti
Dibebankan tugas baru untuk mengelola liga profesional, Azrul menggunakan pola yang mirip dengan DBL, yaitu secara mandiri dan berkelanjutan.
"Jika dilihat secara bisnis, NBL sebenarnya rugi," ujar Azrul.
Ia mengakui bahwa pendapatan yang ia peroleh tidak cukup menutupi biaya pelaksanaan liga. Namun ia yakin bahwa lambat laun akan menemukan formula bisnis yang tepat untuk menjalankan liga ini.
"Tapi saya bersyukur bahwa saya punya DBL dan JRBL, karena kedua liga ini untung dan dapat mensubsidi NBL."
Azrul juga bercerita kondisi awal saat pengelolaan NBL diserahkan kepadanya.
"Saya mengumpulkan seluruh pemain profesional di lapangan dan kami membicarakan kondisi ini bersama-sama. Yang pertama saya lakukan adalah meminta maaf kepada mereka terlebih dahulu," katanya.
Azrul lalu bercerita mengenai prioritas utama saat itu adalah menyelamatkan liga. Setelah liga dapat bertahan, ia lalu akan mengutamakan klub. Menurutnya, jika liga sudah stabil, klub akan mau bergabung.
Lalu, pendapatnya, ketika klub sudah berani untuk berinvestasi, maka pemain akan merasakan manfaat.
"Dan sekarang saya bangga mengatakan gaji pemain sudah berkali-kali lipat jauh ketika masih di IBL," ujar Azrul.
Azrul percaya bahwa liga basket dapat berjalan secara mandiri tanpa harus menggunakan apalagi meminta dana pemerintah. Demikian pula dengan liga yang ia kelola --DBL, NBL, liga basket SMP (JRBL), liga basket wanita (WNBL)-- berjalan tanpa intervensi dari pihak mana pun.
"Kini saya bersyukur liga sudah stabil, tidak perlu bantuan. Klub-klub juga sudah berani investasi dengan mengambil pemain dan menaikkan gaji pelatih."
Bahkan Azrul mengaku sudah mulai memikirkan salary cap, hal yang tidak berani ia pikirkan saat menjalankan NBL pertama kali.
"Dulu yang saya pikirkan itu cara memastikan minimum wage, tapi sekarang kami sudah bisa berbicara soal salary cap," ujarnya menandaskan sambil tersenyum. (vws)
Story Provided by CNN Indonesia
(http://www.cnnindonesia.com/olahraga/20141204223651-178-15974/bangkitnya-basket-indonesia-dari-kematian/)