|
NEWS ADU FISIK: Guard tim putra DBL All-Star Rioga Deswara (kiri) dijaga ketat Chase Watermon dari South Tahoe High School pada Rabu (6/11, Kamis 7/11 WIB). (Foto: Hendra Eka/Jawa Pos)
nblindonesia.com - 09/11/2013
Fisik dan Mental DBL All-Star Memang Paten
Tulisan Eko Widodo - BOLA
Lewat tengah malam waktu Indonesia, Kamis (7/11) dini hari, saya tidak bisa tidur. Jika sudah demikian, saya menggiring mata supaya tertutup dengan menonton rekaman-rekaman NBA, atau membaca. Tiba-tiba blackberry (BB) saya berbunyi. BBM dari Komisioner DBL, Azrul Ananda. "Di sini (Lake Tahoe) ada sedikit salju. Tapi cukup banyak untuk perang salju. Ancuuur," bunyi tulisan di bbm itu. "Habis ini kita tanding melawan South Tahoe HS Vikings," ucap Komisioner. Ternyata usai membaca bbm itu saya tidur lelap. Bangun-bangun, saya langsung bbm ke Komisioner untuk menanyakan hasil anak-anak DBL All-Star. "Kita menang semua. Tadi satu sekolah disuruh ke gym. 1.100 anak memenuhi gym, bikin merinding," bunyi bbm. Alhamdulilah menang semua. Kebetulan, tayangan NBA yang sedang saya tonton adalah Denver Nuggets. Stadion Pepsi Center di kota Denver, yang sering disebut The Mile High City, memiliki ketinggian 5.280 feet (1.609 m). Berapa ya ketinggian South Lake Tahoe, tempat DBL All-Star 2013 menang 42-29 di putra, serta 55-20 di putri? South Lake Tahoe memiliki ketinggian 6.237 ft alias 1.901 meter. Lebih tinggi dari Denver. Vince Carter (Dallas) dan Rashard Lewis (Miami) pernah mengeluh susah bernafas jika bermain di kandang Nuggets itu. "Susah bernafas setiap kali bermain di sini," kata Lewis di koran Orlando Sentinel. Perasaan Carter setali tiga uang dengan Lewis. Jujur saja, saya tidak yakin tak terjadi apa-apa saat skuad DBL All-Star menang atas STHS Vikings. Pebasket NBA yang sangat bugar saja mengeluh di ketinggian 5.280 feet, masak anak-anak SMA asal Indonesia yang hidup di daerah tropis itu tak terpengaruh di 6.237 feet? Saat membaca Jawa Pos edisi Jumat (8/11) versi digital di halaman 28 berjudul "Menang Besar di South Lake Tahoe", ternyata dugaan saya benar. Anak-anak sempat bermasalah dengan adaptasi ketinggian. "Konsistensi yang tidak terjaga membuat lawan bisa mengejar dengan cepat. Bahkan pelatih Ateng Sugijanto sempat kesal dengan hasil kurang memuaskan di babak pertama." demikian cuplikan artikel itu. Memetik Buah Latihan Fisik dan Mental Pelatih fisik ekspedisi Kopassus menaklukkan Mount Everest 1997, Octavianus Matakupan mengatakan bahwa problem mendaki ketinggian itu bukanlah pada suhu dingin, namun pada tekanan udara! Kaleng minuman yang kita pegang mengembang ketika dibawa ke permukaan tinggi. Jadi, jika kaleng saja mengembang, apalagi tubuh orang! Setiap pendaki akan menghadapi kendala alam yang sudah bisa diukur secara eksak. Udara yang kita serap, baik di dataran tinggi maupun di dekat permukaan laut, adalah sama komposisinya yakni 20,93% oksigen (O2), 0,03 karbon dioksida (CO2), dan 79,04% nitrogen (N2). Tekanan udara di daerah permukaan laut adalah 790 torr. Sementara itu, tekanan udara di puncak Everest 251-253 torr (torr adalah satuan tekanan udara yang ditemukan oleh Torricelli, 1 torr = 1/760 atmosfer). Konsekuensi dari tekanan udara semakin rendah adalah turunnya kandungan oksigen di dalam butir darah merah (hemoglobin), dari sekitar 98% di dekat permukaan laut, menjadi 47% di ketinggian 6.100 meter. Di puncak Everest, kandungan oksigen hanya tinggal 35%! Oksigen yang digunakan manusia dalam keadaan istirahat sekitar 5 ml/kg/menit. Berada pada ketinggian 1.901 m di Lake Tahoe akan memberikan efek signifikan pada kemampuan maksimal volume oksigen (VO2max). Kemampuan maksimal manusia akan menurun sekitar 11% setiap penambahan 1.000 meter. Jadi, semisal VO2max Rivaldo Tandra dkk. sekitar 50, maka pada ketinggian 1.000 m, akan turun menjadi 44,5. Saat naik lagi ke ketinggian 2.000 m (seperti di South Lake Tahoe) VO2max menjadi 39.6! Berada di ketinggian bisa terkena penyakit gunung. Ciri-ciri terkena penyakit gunung (mountain sickness) adalah menurunnya koordinasi otak karena kadar oksigen menurun. Lebih cepat capek dan fatique, juga gejala penyakit gunung, selain pusing-pusing dan mual. Jadi, saya salut dengan kemampuan para skuat DBL All-Star 2013 menjaga fisik mereka sampai fase penciutan 12 putra 12 putri. Tanpa aklimatisasi, malah memilih perang salju seperti diceritakan oleh Komisioner, lawan yang setiap hari bermain di sana bisa ditaklukkan. Bagi orang yang hidup di daerah tropis, tak mudah lho untuk bisa bermain basket dengan tempo cepat di dataran tinggi seperti di South Lake Tahoe itu. Keinginan menunjukkan yang terbaik, juga bisa mengalahkan rasa lelah akibat mountain sickness. Itulah buah dari ketahanan mental yang selama ini dilatihkan sejak camp DBL di Surabaya hingga camp Kandidat All-Star di Solo. Karena mental baja itu juga, akhirnya Komisioner harus merogok kocek untuk memberi bonus membelikan sweater dan merchandise kampus kesayangannya di California State University Sacramento untuk para pemain. Ya, bonus untuk kemenangan 100% DBL All-Star di Lake Tahoe. (*) * penulis adalah penggemar bola basket dan Doktor Olah Raga dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
Share this:
Tweet
|
Copyright © 2010 PT DBL Indonesia, All rights reserved.
Any commercial use or distribution without the express written consent of DBL Indonesia is strictly prohibited. |